Rabu, 23 Desember 2009

Menulis: Cara Cerdas untuk Belajar
oleh Ali Mahmudi

Tengoklah sejarah. Kejayaan Islam tidak hanya diraih dengan kegagahan para mujahid di medan perang, melainkan juga oleh kegigihan dan kecerdasan ilmuwan-ilmuwan muslim yang menuangkan pemikiran mereka dalam tulisan-tulisan yang melegenda. Tak salah jika Ali bin Abi Tholib mengungkapkan “ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Dengan tulisan, ilmu-ilmu dapat tersusun rapi dan sistematis sehingga dapat dinikmati orang lintas generasi. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi, yakni Q.S. Al-Alaq, juga berbias pada perintah membaca (iqra’) dan menulis (‘allama bi al-qalam). Perintah membaca dan menulis ini demikian penting karena tanpa kemampuan membaca dan menulis, wahyu Alloh SWT tidak dapat dipahami dan tak dapat dinikmati oleh generasi-generasi berikutnya.
Meyakini bahwa membaca dan menulis adalah perintah Alloh SWT berimplikasi pada keyakinan lain bahwa mengembangkannya adalah kewajiban. Di sinilah sekolah menemukan peran strategisnya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan ini. Diyakini bahwa setiap anak memiliki potensi untuk membaca dan menulis. Tentu dengan kadar yang berbeda-beda. Sekolah perlu merancang aktivitas akademik yang berimplikasi pada berkembangnya potensi ini.
Terdapat beberapa tujuan dari aktivitas menulis. Salah satunya adalah sebagai sarana berkomunikasi. Selain itu, menulis juga dimaksudkan untuk merangsang pikiran dan menata serta memperjelas pemikiran. Ide-ide yang masih mentah dan belum teratur akan lebih tertata bila dituliskan. Tujuan terakhir inilah yang mendasari munculnya ide bahwa anak dapat belajar melalui aktivitas menulis. Dengan kata lain, aktivitas menulis dapat dipandang sebagai strategi belajar. Aktivitas menulis tidak hanya dimaksudkan untuk membentuk kemampuan menulis itu sendiri, melainkan dipandang sebagai cara untuk membelajarkan anak. Bagaimana caranya? Secara singkat tulisan ini akan menguraikan hal itu.
Seyogyanya kita tidak memandang bahwa aktivitas menulis hanya dilakukan pada pelajaran mata pelajaran tertentu, seperti bahasa. Perlu diyakini bahwa aktivitas menulis dapat dilakukan pada semua mata pelajaran dan pada setiap tahap pembelajaran. Bahkan aktivitas menulis dapat dilakukan pada semua jenjang sekolah. Aktivitas menulis dapat dilakukan secara sederhana. Misalnya, di akhir kegiatan pembelajaran, cukup 5 menit saja, dengan kalimat sendiri, anak dimita untuk menuliskan hal-hal penting yang telah mereka pelajari hari itu. Tulisan dapat pula terkait aspek emosional yang mereka rasakan, senang atau tidak, terkait kegiatan pembelajaran yang telah mereka ikuti.
Bentuk lain dari aktivitas menulis adalah sebagai berikut.
 Tulislah sebuah surat untuk temanmu yang tidak masuk hari ini, sehingga teman itu juga dapat memahami apa yang kamu pelajari hari ini.
 Ingat kembali apa yang telah kamu pelajari hari ini. Selanjutnya lengkapilah kalimat berikut.
- Sekarang saya mengetahui bahwa ….
- Saya belum memahami bahwa ….
- Saya menyadari pentingnya pelajaran ini, yaitu ….
Dalam pelajaran agama, sesekali anak dapat diminta untuk menuliskan doa dengan kalimat mereka sendiri. Hal demikian akan melatih anak menuliskan secara runtut hal-hal yang sangat diingini untuk dikabulkan sekaligus membantu anak memahami betul doa-doa mereka. Sementara dalam pelajaran matematika atau bahasa, guru dapat menyajikan gambar, grafik, tabel, atau narasi berita yang diperoleh dari surat kabar. Selanjutnya anak diminta untuk menuliskan secara bebas kalimat-kalimat yang mendeskripsikan atau menjelaskan gambar, grafik, tabel, atau narasi berita tersebut.
Aktivitas menulis juga dapat berujud tugas lintas pelajaran sebagai tugas akhir pekan. Anak diminta menulis terkait suatu tema yang diberikan. Tema-tema itu hendaknya sudah dikenal oleh anak. Anak diminta untuk menyediakan buku tersendiri untuk aktvitas menulis tersebut.
Aktivitas menulis yang dilakukan secara berkelanjutan dapat membantu siswa mengkoordinasikan informasi dan pengetahuan yang dimiliki anak sehingga menjadi pengetahuan yang utuh dan tertata. Menurut penelitian Possamentier (1985), anak yang menuliskan pengetahuan yang baru dipelajarinya mempunyai ingatan yang jauh lebih tepat. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa menulis adalah cara cerdas untuk belajar. Aktivitas menulis juga mendorong anak berpikir kreatif. Kemampuan berpikir kreatif diindikasikan oleh kemampuan anak untuk mengemukakan ide yang bersifat unik, baru, dan berbeda. Aktivitas menulis juga memungkinkan guru untuk mengetahui tingkat pemahaman anak terhadap materi yang telah dipelajari. Hal ini dapat dijadikan dasar bagi guru untuk mengklarifikasi dengan segera adanya ketidakpahaman yang mungkin muncul pada diri anak.
Aktivitas menulis perlu dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Bagaimanapun juga, anak memerlukan waktu untuk merasa nyaman untuk menuliskan apa yang mereka pikirkan. Pada tahap awal, anak tidak perlu dituntut secara ketat untuk memperhatikan aspek tata bahasa. Menuntut kesempurnaan tulisan anak adalah cara berpikir yang tidak baik dan dapat mematikan kreativitas anak. Namun, tentu saja, tetap perlu memberikan komentar secara bijak terhadap tulisan anak. Guru dapat memotivasi anak dengan cara memberikan komentar atau catatan positif atau membacakan tulisan anak yang menarik di kelas.
Demikianlah, aktivitas menulis perlu dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan, sehingga berbagai manfaat sebagaimana diuraikan di atas dapat mewujud nyata. Aktivitas menulis yang tidak hanya dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan menulis itu sendiri, melainkan menulis untuk belajar. Ya, menulis adalah cara cerdas untuk belajar.

*) Ali Mahmudi, Dosen Jurusan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta.

Sabtu, 12 Desember 2009


Mendengar Anak Bicara
oleh Irwan Nuryana Kurniawan

Komunikasi yang sukses antara orangtua dengan anak akan menjadi sarana yang paling baik di dalam mempercepat penyebaran kebaikan dan menyuburkan kecintaan. Sebaliknya kegagalan komunikasi antara orangtua dengan anak dapat menyebabkan orangtua akan mengalami kesulitan besar dalam menanamkan nilai-nilai mulia pada anak-anaknya dan memburuknya hubungan di antara keduanya.
Komunikasi yang efektif antara orangtua dengan anak-anak menuntut kemampuan orangtua untuk menjadi seorang pendengar yang baik, menjadi ahli dalam memahami apa yang sedang coba disampaikan oleh anak-anak kepada kita, dan menjadi ahli dalam menggunakan kata-kata dan konsep-konsep yang dapat dipahami anak.
Insyaallah kita semua akan sepakat bahwa komunikasi yang kita lakukan mendatangkan kepuasan ketika orang yang yang  kita anggap penting dalam kehidupan kita mendengarkan kita dan mencoba untuk memahami apa yang sedang kita sampaikan. Demikian juga anak-anak. Anak-anak juga merasakan yang sama seperti halnya orang dewasa. Banyak orangtua yang beranggapan bahwa  berkomunikasi dengan anak-anak intinya adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka atau menjelaskan sesuatu kepada mereka. Padahal, komunikasi melibatkan percakapan dua arah antara kita  dan anak–anak: dari orangtua kepada anak dan dari anak kepada orangtua.
Meskipun demikian, bukan berarti percakapan satu arah pasti menunjukkan kegagalan komunikasi antara orangtua dengan anak-anak. Komunikasi satu arah : saya mendengarkan anak-anak saya berbicara, mencoba untuk memahami apa yang sedang mereka katakan dan rasakan, juga sama pentingnya dengan keahlian kita dalam menyampaikan dengan jelas informasi yang kita maksudkan. Dengan melakukan demikian, maka insyaallah kita akan mendapatkan informasi yang lebih banyak dan lebih akurat tentang bagaimana perasaan mereka atau hal-hal penting apa yang coba mereka  sampaikan.
Berlatih mendengarkan anak-anak kita berbicara dapat kita mulai dengan mencoba membiasan diri  untuk  tidak memulai pembicaraan ketika bertemu dengan anak-anak. Kita bisa memilih satu atau dua situasi dalam seminggu di mana kita tidak memulai sebuah percakapan, misalnya saat kita sedang menjemput anak-anak dari sekolah atau ketika kita sedang mengerjakan tugas tertentu. Usahakan tidak menggunakan kedua situasi ini untuk menyampaikan pesan kepada mereka atau mungkin malah menginterogasi anak-anak terus menerus tentang kegiatan-kegiatan mereka di minggu yang akan datang. Tetap tenang dan tunggu sampai anak mereka berbicara.
Pada awalnya kita mungkin akan mengalami kesulitan untuk melakukan hal tersebut, sebagaimana kebanyakan orangtua lainnya. Kesulitan tersebut dapat dipahami karena kebanyakan kita sudah terbiasa ketika menjemput anak-anak di sekolah atau tempat penitipan anak, kita segera menanyai mereka apa mereka kerjakan seharian. Daripada melakukan demikian, setelah kita menyapa mereka dengan, ”Assalamu’alaikum sayang, senang rasanya ayah bisa menjemput Hasany dan Rasikh sore ini,” berusahalah untuk tetap tenang sampai mereka memiliki sesuatu untuk dikatakan. Dengan cara seperti ini, jika mereka memiliki sesuatu yang ingin dibicarakan, mereka punya kesempatan untuk mengungkapkannya secara leluasa.
Tetapi jangan terkejut, meskipun mereka punya kesempatan dan mereka memiliki sesuatu yang ingin disampaikan, sangat mungkin juga mereka tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Bisa jadi jika mereka lelah setelah seharian melakukan berbagai kegiatan di sekolah, mereka mungkin tidak ingin berkata apa-apa. Dalam situasi seperti ini, kita berusaha untuk tetap tenang. Kita mungkin akan memiliki beberapa kali perjalanan pulang ke rumah yang sunyi dari penitipan anak atau sekolah sebelum mereka akhirnya  percaya bahwa kita ada untuk mendengarkan mereka, bukan untuk mendominasi waktu dengan pertanyaan-pertanyaan kita
Insyaallah seiring dengan berjalannya waktu, mereka akan sampai pada kesimpulan bahwa waktu-waktu sunyi  dari sekolah ke rumah tersebut kita siap untuk mendengarkan komentar-komentar dan keprihatinan-keprihatinan mereka. Mereka mungkin mulai untuk membicarakan tentang masalah-masalah penting bagi mereka—mereka menganggap itu penting. Sangat mungkin terjadi kita akan menilai banyak sekali percakapan-percakapan mereka dengan kita menyangkut segala sesuatu yang tidak penting. Terlalu sering para orangtua ingin membicarakan apa yang mereka pikir penting, tidak peduli dengan apa yang ingin anak-anak mereka bicarakan. Tidaklah mengherankan ketika kemudian para orangtua merasa heran kenapa anak-anak mereka tidak suka berbicara dengan mereka. Mereka malas berbicara dengan kita
Kuncinya adalah mendengarkan, bukan mengevaluasi. Mengevaluasi membuat anak-anak kita semakin malas untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ada dalam benak mereka.

*) Irwan Nuryana Kurniawan, Dosen Psikologi UII Yogyakarta, Kandidat Doktor di Jerman